CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 12 Maret 2011

Panggung Jalanan


Oleh: Fandy Hutari
Dahulu, waktu aku masih kecil—setiap menjelang tidur—kakek selalu duduk di sebelah ranjangku yang sudah reot. Dia selalu mendongengkan aku soal pengalamannya di masa muda. Masa di mana dia masih sangat bersemangat dalam mengarungi hidupnya. Kakek adalah seorang seniman teater tradisional: wayang orang. Dia menghidupi almarhum bapak dari berkesenian. Keliling dari panggung ke panggung. Ayahnya kakek juga orang panggung. Kata kakek, buyut aku itu pemain teater yang terkenal di jaman Belanda. Darah seni itu pun mengalir ke tubuh kakek. Tapi, hanya terhenti di kakek. Sebab, bapak tak mau ambil peduli soal masalah kesenian.
Perlu kalian tahu, almarhum bapakku adalah pegawai kantor pos yang hari-harinya banyak dihabiskan di jalanan untuk mengantarkan surat keliling Jakarta. Waktu aku masih duduk di kelas tiga SD, ibu bercerai dengan bapak. Saat itu, aku tidak mengerti masalah orang tua. Aku tak mengerti apa yang ada di otak mereka itu. Menurutku terlalu rumit untuk dipikirkan. Mengapa menikah kalau akhirnya bercerai? Pikirku waktu itu. Namun, kakek pernah bilang, ibu menceraikan bapak karena tidak tahan hidup pas-pasan. Lalu, ibu mengambil keputusan yang membuatku membencinya hingga sekarang. Ia menikah lagi dengan seorang direktur sebuah perusahaan konfeksi dari Surabaya. Setelah kejadian itu, bapak depresi dan sakit-sakitan. Akhirnya malaikat maut menyabut nyawanya saat aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Kakek bilang, bapak meninggal karena serangan TBC dan kanker otak. Waktu itu, aku pun kurang paham jenis penyakit apa itu.
Sepeniggal bapak dan ibu, aku diurus kakek. Setelah tiga kali berpindah-pindah, sekarang kami menetap di rumah kontrakan kecil di bilangan Kwitang. Sejak kecil, cuma kakek yang paham duniaku. Aku suka membaca dan mencoret-coret catatan di buku tulis. Membuat cerita apapun yang tiba-tiba melintas di kepala. Lalu, kakek mendukungku dengan membelikan buku-buku cerita rakyat, seperti Malin Kundang dan Sangkuriang. Dari sini, aku mantapkan tekad suatu hari nanti akan jadi penulis dongeng. Hanya kepada kakek lah aku berani bercerita soal keinginanku kelak sudah dewasa itu. Dan, kakek mendukungku. Suatu hari, beliau memberiku tiga pesan: jadilah dirimu sendiri, kejarlah cita-cita dan idealismemu sampai ke manapun, dan hidup semata-mata cuma perjuangan. Tiga pesan itu aku ingat. Aku pegang erat-erat... ***
Aku salut sama kakek. Kakek berhasil membiayai pendidikanku sampai aku lulus SMA. Setelah itu, aku tak melanjutkan ke bangku kuliah. Sebenarnya keinginan untuk melanjutkan ada, tapi terbentur masalah klise: biaya. Namun, aku berharap suatu hari nanti, aku bisa melanjutkan pendidikanku. Tentu dengan hasil keringatku kelak.
Entah uang darimana kakek bisa menanggung biaya sekolahku itu, karena setahuku waktu aku duduk di bangku kelas satu SMA, dia sudah vakum dari dunia panggung. Ya, di Jakarta ini hiburan panggung yang menyajikan kesenian tradisional dari waktu ke waktu semakin ditinggali orang. Mungkin secara tidak langsung ini imbas dari semakin berkembangnya teknologi. Orang enggan meluangkan waktu untuk sekadar menonton pertunjukan wayang orang. Mereka lebih baik mengisi waktu senggang ke tempat-tempat hiburan yang hanya mementingkan hura-hura saja, seperti cafe, mal, bioskop, atau taman hiburan. Terakhir, aku lihat kakek manggung bersama rombongan ‘rentanya’ di kampung dekat sini, saat diundang untuk mengisi acara hajatan. Aku lihat, penonton sangat sepi. Bisa kuhitung dengan jariku. Namun, mereka tetap total bermain di atas panggung. Menjilati getirnya tatapan sinis penonton yang semakin gagu akan seni tradisi bangsa sendiri. Tak lama setelah itu, rombongan wayang orang kakek pun bubar. Punah ditelan mentah-mentah oleh congkaknya jaman. Beberapa anggotanya juga sudah ada yang meninggal dunia. Semenjak rombongannya bubar, aku sering melihat kakek keluyuran dari pagi sampai malam. Entah ke mana. Jika aku tanya, hingga kini mulutnya masih dikunci rapat-rapat. ***
Sekarang, aku sudah menjadi cerpenis. Ya, walaupun hanya cerpenis kacangan yang tidak dikenal orang. Namun, lumayan, aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Lagi pula aku tak peduli dengan popularitas. Aku kan bukan selebritis. Meskipun aku hanya tamatan SMA, aku tidak minder untuk menceburkan diri ke dunia yang aku sukai ini. Toh semua orang bisa jadi penulis kan? Tak peduli dia sarjana, tukang becak, anak kecil, kuli bangunan, guru, atau profesor, semuanya punya bakat menulis jika benar-benar diasah dengan baik. Hampir setiap minggu honor mengalir dari beberapa media yang sudah menjadi langganan cerpenku. Sebenarnya, sekarang kakek tak perlu khawatir soal masa depanku. Aku juga mampu membayar sewa rumah ini dengan honorku. Juga tambahan dari berjualan majalah bekas di perempatan lampu merah Senen. Dari honor yang kusisihkan, aku bisa membangun kios majalah kecil berbahan dasar papan. Di pinggir kiri-kanan kiosku juga ada beragam tempat usaha, mulai dari penjual buku-buku bekas dan majalah seperti aku, jasa pembuatan kunci duplikat, servis komputer, sampai penjual pulsa telepon seluler. Sekarang aku bisa mandiri. Harusnya kakek dapat bersantai-santai di rumah. Tidur atau menonton televisi 14 inchi yang kami punya. Tapi, aku heran, kenapa kakek di hari-hari tertentu masih sering ke luar rumah dari pagi sampai sore.
“Mau ke mana, kek?” tanyaku, hampir setiap kali saat aku lihat dia ingin ke luar rumah dengan  gembolan kain di pundaknya. “Ah, ada urusan sebentar...” jawabnya, langsung ngeluyur ke luar rumah. Selalu itu jawabannya.
Semenjak aku lulus SMA, pasti pukul 09.00 WIB, setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, kakek ke luar rumah membawa gembolan. Dulu, waktu aku belum lulus—hampir setiap pagi berbarengan dengan kepergianku ke sekolah—kakek selalu ke luar membawa gembolan. Sekarang—seperti sudah diatur sedemikian rupa—setiap kakek ke luar, aku selalu sedang sibuk membereskan majalah-majalah bekas yang akan dijual nanti di perempatan. Sebelum matahari berada tepat di atas ubun-ubun, aku berangkat ke perempatan jalan, membawa tas gemblok yang berisi majalah-majalah bekas. Menjajakan bahan bacaan ke setiap orang yang melewati kiosku yang cuma sepetak, berbentuk kotak. ***
“Hei, Sat, belum beres-beres nih?” tanya Radit, pengamen jalanan yang juga teman curhatku di sini.
Aku yang sedang membaca di dalam kios, lalu menghampiri dia yang berdiri di depan kiosku. “Belum. Masih sore lah. Sebentar lagi. Duduk, Dit,” sahutku, seraya duduk di bangku panjang depan kios.
Radit pun duduk di sebelahku. Gitarnya ditaruh di pangkuan pahanya. Dagunya ditopang di gitarnya. “Gimana ngamen hari ini?” tanyaku kepada pemuda urakan berpakaian serba hitam ini. “Yah, lumayan, Sat. Dapet dua puluh ribu mah,” jawabnya, diiringi senyum yang dipaksakan. Wajahnya lalu tertunduk. Aku merasakan tarikkan napasnya yang panjang-pendek.
Kami terdiam. Ada jeda di sini. Radit mengamati tanah yang dipijak oleh sandalnya. Aku memerhatikan wajah lesunya. Aku kenal Radit dari SMP. Dulu dia teman sebangkuku, sebelum akhirnya tak melanjutkan pendidikan ke SMA. Bapaknya kena PHK, dan habis itu hancurlah pendidikan dia. Kebalikan dari aku, ibunya meninggal saat melahirkannya. Setelah di PHK, bapaknya merantau ke Lampung. Dan, hingga kini bapaknya tak kunjung pulang. Radit hanya diasuh oleh tantenya yang cuma penjual lontong sayur. Menurutku, Radit hebat. Di tengah hidupnya yang serba rumit dan sulit melebihi hidupku, dia masih sanggup untuk bertahan. Dia mampu mencari uang sendiri sejak putus sekolah. Aku akui, dia memang berbakat di musik. Waktu SMP dulu, dia sering dikirim sekolah kami untuk ikut perlombaan menyanyi atau bermain musik antarsekolah se-Jakarta. Walaupun belum pernah juara, tapi toh kemampuannya itu sudah dilirik oleh guru-guru di sekolah kami. Jika digelar pentas seni di sekolah, Radit pun kerap bernyanyi dan bermain gitar di atas panggung. Saat ini, jalanan bagi Radit adalah sebuah panggung.
“Udah laku berapa, Sat? Sat...Satrio...Sat!!!” Teriaknya tepat di telinga kananku. Aku terperanjat. Hampir saja jatuh dari bangku ini. Seketika itu juga lamunanku pun buyar. “Eh...Hehe. Sori, ngelamun tadi. Baru aja kebeli sepuluh,” jawabku kikuk. “Lumayan lah...” tambah Radit. “Alhamdulillah...”
Hari semakin gelap. Siraman sinar senja perlahan-lahan tergantikan oleh cahaya lampu jalanan. Radit pun kembali ke jalanan: mengamen. Ya, aku lihat lalu lintas padat. Orang-orang yang bekerja, pulang di waktu yang hampir bersamaan. Kendaraan mereka tumplek jadi satu di jalanan. Bagi Radit, macet merupakan ladang uang. Aku menutup kios. Membawa beberapa majalah ke rumah, juga hasil jerih payah hari ini.
Ketika adzan Maghrib berkumandang, aku sudah sampai di rumah. Dan, saat membuka pintu rumah, aku selalu dan selalu menjumpai kakek tertidur di bangku ruang tamu. Selalu memergokinya dengan guratan wajah yang tampak kelelahan sekali. Selalu menjumpai gembolannya digeletakkan begitu saja di bawah. Tepat di dekat kakinya yang kurus. Tapi, belum pernah sekalipun aku lancang membuka isi gembolan kain itu tanpa sepengetahuannya. Di rumah, seperti biasa, aku akan makan dan beristirahat sebentar. Lalu  mengetik cerpen sebelum terlelap. ***
Hari ini begitu semarak dibanding hari kemarin. Anak-anak di lingkunganku terlihat sibuk mempersiapkan diri mereka untuk berlomba. Kemudian di antara mereka berlari menghambur bagaikan daun kering yang diembus angin. Mereka melewatiku yang tengah melangkah menuju kios. Bendera merah-putih pun menancap di setiap sudut. Menghiasi halaman-halaman rumah yang aku lewati. Rangkaian bendera merah-putih berukuran mini juga melintang di atas kepalaku. Dijejerkan dengan tali yang saling mengait. Ya, benar, sekarang 17 Agustus. Itu berarti pesta memperingati hari kemerdekaan digelar di mana-mana. Mereka sibuk menggelar perlombaan, acara musik, serta upacara. Sedangkan aku—seperti biasanya—harus kembali ke kios untuk berjualan majalah. Untuk mencari nafkah.
Waktu merambat cepat. Sampai menjelang siang, orang-orang hanya hilir mudik melewati kiosku. Ada juga beberapa yang cuma membaca-baca saja majalah yang aku pajang menghadap jalan. Sesekali aku menyaksikan konvoi kendaraan yang dominan warna merah-putihnya. Ada pula iring-iringan karnaval yang sebagian besar terdiri atas anak-anak. Ramai sekali. Aku masih duduk sendirian di dalam kios. Memerhatikan mereka yang penuh semangat dan rona wajah gembira.
“Sat...Satrio! Ada air nggak lo?” tiba-tiba Radit mengaggetkanku dengan teriakannya itu.   Dia terlihat panik sekali sembari memapah seorang bapak tua. Dengan tergesa-gesa dia langsung duduk di bangku panjang depan kios. “Ada...ada. Kenapa?” tanyaku, keluar menghampirinya. Aku perhatikan, bapak tua yang dipapahnya tadi terlihat sangat kelelahan. Seperti habis berlari jauh sekali. Keringat mengucur dari pipinya yang kurus dan keningnya yang mengeriput. “Cepet, bapak ini butuh air!” perintah Radit, “Dia habis dikejar-kejar preman karena nggak mau ngasih duit hasil ngamennya tadi,” lanjutnya dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Segera aku masuk kembali ke dalam kios. Menuangkan air bening dari botol plastik minuman mineral ukuran satu liter ke dalam gelas plastik yang selalu kusiapkan di sini. “Ini...” kataku, menyerahkan air di gelas plastik itu kepada Radit.
Lelaki tua berbalut make-up tebal berwarna putih kombinasi hitam di alis dan jidatnya, serta merah di pipi kanan-kirinya—mirip wajah punakawan—itu langsung menenggak habis air yang kubawakan tadi, tak tersisa. Bapak tua ini juga mengenakan kostum layaknya seniman wayang orang begitu. Ada pula sehelai selendang berwarna hijau yang melilit di lehernya. “Gimana kejadiannya, Dit?” tanyaku penasaran.
Aku perhatikan wajah si bapak tua itu. Namun, dia seperti mengacuhkan pandanganku. Memalingkan muka sebisa-bisanya. Aku tak bisa mengenali wajahnya, sebab terbungkus make-up putih itu. Tapi melihat bentuk tubuhnya, sepertinya aku mengenalinya.
“Habis ngamen, bapak ini istirahat di depan kios rokok. Terus duitnya diminta sama Kang Juned dan temen-temennya. Kang Juned preman perempatan lampu merah depan mal sana, Sat. Tapi dia nolak. Terus dia mau dipukuli sama mereka kalo nggak ngasih duitnya. Gua ngeliat kejadiannya. Terus gua papah aja dia untuk lari. dan, langsung aja gua bawa ke sini. Tadinya dia nolak untuk gua bawa ke sini...” cerocos Radit. “Lho, kenapa nolak?” aku penasaran. Dahiku menaik. “Nggak tau...” jawab Radit. “Ya udah istirahat dulu aja...” kataku memberi senyum kepada bapak naas itu. Tapi, lagi-lagi dia menghindari tatapanku. “Bapak ini udah gua anggap bapak gua sendiri, Sat. Kasian. Dia udah tua, tapi masih banting tulang untuk cucunya. Untuk hidupnya. Dia jadi badut-badutan di perempatan lampu merah depan mal sana tuh,” ujar Radit menunjuk ke arah utara dari kami, “Menari-nari di setiap mobil yang berhenti. Katanya, dia ngurus cucunya setelah cucunya itu hidup sendirian. Bapaknya udah meninggal dunia katanya. Terus ibunya udah nikah lagi sama orang Jakarta...” celoteh Radit dengan raut muka memelas.
Aku lalu duduk di sebelah bapak tua itu. Melihat dalam-dalam wajahnya. Dia menunduk. Aku memerhatikannya lebih dekat. Lebih dekat. Lebih dekat hingga hampir saja dia tercium olehku. “Heh, kenapa, Sat? Lo ngeliat Pak Darta gitu banget?” tegur Radit.   “Pak Darta? Kakek?!” tebakku. Dia masih diam dan tertunduk. “Ini kakek kan? Kenapa sih kakek pake nyari duit di jalanan segala?” aku mendesaknya untuk berkata,”Aku kan udah bisa nyari duit buat kakek,” lanjutku terus menatap wajahnya yang dilipat itu. Tak lama, wajahnya diangkat. Dia balik memandangku. Mata kami bertabrakan. “Iya, Satrio, ini kakek...” jawabnya seperti berbisik. Aku terperanjat. Hampir saja aku marah, karena kakek berbuat begini demi aku. “Kenapa kakek nyari duit begini?” tanyaku lagi.      Emosi di dada aku redam dalam-dalam. Aku berusaha berkata lembut demi kakek. Demi orang yang aku cintai ini. “Maaf, Satrio, kakek nggak berani bilang sama kamu. Selama ini kakek menghidupimu dari panggung jalanan. Demi cita-cita kamu yang pingin jadi penulis hebat, Satrio. Maaf, kakek takut nanti kamu malu sama teman-temanmu. Sampai sekarang kakek pingin mandiri. Nggak mau ngerepotin Satrio yang berusaha nulis untuk cita-cita kamu itu,” jawabnya.
Aku pandang matanya yang berkaca-kaca. Seperti ingin menangis, tapi dia tahan. Bodohnya aku yang tidak tahu pekerjaan kakek selama ini. Bodohnya aku yang membiarkannya menghidupi diri sendiri di jalanan. Spontan aku memeluknya erat-erat. Aku merasa, seperti sudah lama sekali tidak berjumpa dengan kakek. Seperti melepaskan kerinduan yang amat dalam. Air mata kami pun tumpah seketika. Radit masih terdiam dalam duduknya. Memerhatikan kami.
“Pak Darta kakek lo, Sat?” tanya Radit sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku tak membalas pertanyaannya. Begitu juga kakek. Kami larut dalam suasana haru. Menurutku, ini adalah hadiah yang sangat istimewa di hari kemerdekaan. Aku mengetahui perjuangannya menghidupi dan menanggung seluruh biaya pendidikanku hingga aku lulus. Aku menarik satu hikmah dari perjuangan kakek. Dia menuntut aku untuk terus berjuang demi menggapai cita-cita dan menghidupi diri. Kakek, aku mencintai pengorbananmu. Aku akan selalu pegang tiga pesanmu: jadilah dirimu sendiri, kejarlah cita-cita dan idealismemu sampai ke manapun, dan hidup semata-mata cuma perjuangan. Sampai kapan pun...Aku janji.

0 comments:

Posting Komentar